Fatwa Puitik Dalam Bait Puisi

(Membaca Puisi “Penolong”Karya Matroni el-Moezany)
Oleh: Jufri Zaituna

Puisi yang berjudul “Penolong”, karya Matroni el-Moezany ini mengusung ide besar, tentang suatu pencarian makna hidup dan kehidupan. Atas dasar penggambaran kesedihan dan keperihan luka-luka perjalanan yang tidak bisa ditanggungkan kecuali dengan kepasrahan kepada yang Maha Kuasa. Perasaan-perasaan si penyair yang seperti api unggun di tengah-tengah lapangan keresahan pencarian titik temu antara dirinya dan lingkungannya.
Karena teks puisi bukanlah sekedar ekspresi individual, sosial, atau metafisikal, tetapi merupakan bagian dari mata rantai tradisi dan konvensi estetik yang melingkupi . Cukup banyak kita akan menemukan puisi-puisi yang seperti ini. kecemasan-kecemasan yang meluap-luap, namun gagal karena kurang sabar dalam menghayati suatu persoalan yang ditangkapnya. Sebab menulis puisi tidaklah semudah kita menulis prosa.
Puisi bukanlah tumpukan kata-kata, peristiwa, atau sesuatu yang ada di luar benak kita. Tapi puisi juga membentuk kata-kata menjadi bernilai, padat, dan kaya pengertian. Kata-kata yang dipilih mempunyai kekuatan, bertenaga untuk menggerakkan jiwa penikmatnya. Seakan-akan pembaca bisa melihat, mendengar, atau merasakan sendiri apa yang dimaksud si penyair.
Dalam puisi Matroni el-Moezany, terlihat jelas bagaimana pengolahan ide yang kurang diendapkan demi terciptanya bangunan puisi yang benar-benar utuh. Walau keutuhan puisi tidak bisa kita ukur dengan apa pun. Karena proses pengendapan sangatlah penting dan berpengaruh pada ide yang akan diangkat dalam sebuah puisi. Agar dalam puisi tidak banyak perasaan-perasaan yang sebenarnya tidak butuh diungkapkan atau dimasukkan kedalam puisi itu sendiri. Karena puisi bukanlah sembarang wadah dari segala apa yang kita rasakan, yang kita pikirkan, yang kita hadapi.
Bisa kita rasakan bagaimana penyempurnaan bait dalam puisi Matroni el-Moezany, yang terasa bergelantungan, berayun-ayun sendirian. Bait yang kita kenal dengan larik-larik yang terkumpul dialam satu kelompok atau untaian puisi . Namun tidak dalam puisi Matroni el-Moezany yang seakan kurang diperhatikan bagaimana menciptakan suatu bait atau kalimat-kalimat yang berhubungan antara kalimat lainnya. Ungkapan yang seolah tersendat-sendat, lidah puitik terasa kelu, kalimat-kalimat verbal dengan diksi yang kaku dan klise. Seperti pada bait pertama: “Bila tak sanggup menampung/Kemelut luka kehidupan,” frase yang seperti ini memang memberikan hentakan ungkapan yang kuat bagi pembacanya. Tapi dalam  puisi, terkadang menjadi kelemahan tersendiri, bila apa yang kita ungkapkan tidak benar-benar memberikan hentakan lain. Atau sesuatu yang bisa dipetik menjadi jalan terang bagi keutuhan puisi.
 Apalagi setelah bait kedua menyusul: “Gebalau terus mengejar/Pengetahuan tak bisa mengurai/Kerisauan tak terbendung/akan kumaknai/lewat jari-jari waktu”, Matroni el-Moezany yang berusaha menggetarkan pembaca dengan menghadirkan semua persoalan si aku lirik. Namun saya sendiri malah merasakan dengan kehadiran bait kedua, bait pertama kehilangan daya ucap. Seolah tak selesai dalam penyempurnaan suatu kalimat penting. Namun pada bait ke dua ini kita akan menemukan pergolakan kegaiban pengharapan atas impian-impian si “aku lirik”. Si “Aku lirik” yang berusaha mencari jalan keluar dari penderitaan, ketidakpercayaan atas apa yang dimilikinya. Karena tak semua jalan mesti bisa diselesaikan begitu mudahnya. Maka si “aku lirik” pasrah diri pada waktu. Waktu yang akan terus membimbingnya, menemaninya sampai akhir dari doa yang basah dengan air mata cinta.
Bait-bait kekalutan terus menggempur nasib si aku lirik. Bait yang meloncatan-loncat, pengimajian semakin simpang siur. Pembaca seolah disetir untuk menunggu jawaban dari bangunan nuansa yang berdiri tegak. Bila kita belajar kembali pada bait pertama dalam puisi Chairil Anwar, yang berjudul: “Penerimaan”, kalau kau mau kuterima/kau kembali/dengan sepenuh hati/aku masih tetap sendiri/. Bait pertamanya seakan menggambarkan suatu persoalan yang rumit dan menggantung pembaca untuk mencari akar permasalahannya. Puisi Chairil yang sangat sederhana cara membukanya, namun menjanjikan sesuatu yang sangat berharga bagi kekuatan puisi. Kesederhanaan yang memberikan getaran dalam satu ayunan tema penantian atau pengharapan atas segala nikmat Tuhan.
Pada bait ke tiga dalam puisi Matroni el-Moezany kita akan menemukan kembali persoalan baru: “Sorak-sorai kesendirian/terbengkalai laut lena ketenggelaman”, persoalan yang tumpang-tindih suatu luapan perasaan. Kesendirian yang di metaforkan dengan laut. Imaji laut yang sebenarnya tidak pernah digambarkan sebelumnya. Begitu pun bait ke empat: ”ruas jalan merisau/sukma tertahan bara/seperti batu kau puja/matahari kau sembah/”, pada bait ini si “aku lirik” dijelaskan bagaimana manusia yang selalu menghamba pada dunia. Disusul dengan larik: “takkan kau temukan/ladang kesejukan kau idamkan”. Ungkapan yang tidak kalah mengerikan dengan seorang kiai yang berpidato soal sorga dan neraka.
Namun tidak hanya penciptaan bait-baitnya yang cukup bermasalah, karena ada banyak keterpecahan imaji ketika menghadirkan suatu keadaan jjiwa-iwa yang suram, jalan sepritual, kebenaran sebuah keindahan dan kerinduan. Ketika kita sampai di bait: di jambangan cahaya/“adamu sempurna”, antara aku lirik dan aku penyair mulai dikaburkan, apalagi penyair menghadirkan kata “cahaya”, entah cahaya apa yang dimaksud Matroni el-Moezany dan pada kata “adamu sempurna”, ungkapan yang sangat ambigu.
Di bait terakhir kita akan berjumpa dengan kesimpulan: “bila tak sanggup menampung/kemelut luka kehidupan/airmata adalah penolong setia”, penutup yang membosankan dan sangat menggurui pembacanya. pembaca yang dianggap suka mengkonsumsi ayat-ayat motifasi. Bait terakhir yang benar-benar menghancurkan bangunan puisi sampai menjadi debu-debu hitam kehidupan.
Mungkin inilah yang disebut kekalahan seorang pencipta puisi ketika mencari keutuhan puisi. Kesimpulan yang kaku, membosankan, dan sebenarnya tidak butuh dalam puisi. Namun kita bisa belajar kembali pada puisi Chairil Anwar kembali yang berjudul “Penermaan” yang sangat cekat mengakhiri puisinya: /sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Keberhasilan  ungkapan kadang-kadang tidak bisa kita rasakan. Namun ada kekuatan diri yang benar-benar kuat dalam diri Chairil Anwar.
Mengapa puisi ini saya sebut fatwa puitik dalam bait puisi, karena puisi “Penolong” karya Matroni el-Moezany ini lebih menekankan pada ungkapan kearifan kepada penikmatnya. Sebab puisi tidaklah demikian. Dalam puisi Matroni el-Moezany ini seolah si “Aku Lirik” memposisikan dirinya yang paling baik dan sangat bijak dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Entah nantinya Matroni el-Moezany akan terus menulis puisi-puisi bijak seperti puisi yang saya ulas kali ini. Semoga tidak.
Dengan Demikian, begitu indah puisi Matroni el-Moezany ini bisa kita hajar bersama-sama dalam diskusi kali ini dengan penuh kejujuran. Sebab dalam karya sastra tidak ada lagi kata jelek dan bagus. Maka saya sendiri menyebut puisi Matroni el-Moezany termasuk puisi yang baik hati dan berpotensi menjadi fatwa puitik bagi “penolong” kehidupan kita bersama untuk selalu berproses hidup dan berkehidupan.

kosOpus, 11 Oktober 2012

Perihal Kebingungan Kita Pada Nasib

Sajak: Slendang Sulaiman
 
nun, duduk disini kita hanya mencoba melapas kebingungan
kekacauan pikiran dan hati yang tidak kita mengerti
lalu kita akan selalu berpura memahami keadaan
sambil bicara lugas dan tegas agar tak tampak dalam kita
sesuata yang mencemaskan,

tersenyumlah nun,
sebentar lagi burung-burung akan berkicau dalam sangkar
sebab tak akan ada lagi tempat untuk bersarang

nun, cigaret + secangkir kopi setidaknya dapat mengikis
kebingungan kita yang akut. meski di koran dan televisi
penderitaan demi penderitaan digelar dengan kemewahan

nun, kelak airmata akan menjelma embun
di punggung petani, buruh, nelayan dan sebangsanya
sebab kita hanya punya air mata dan doa

laa haula wa laa quawwata
illa billahil’aliyyil ‘adziim..


Blandongan, Agustus 2012

Lalabet

Sajak: F. Rizal Alief

Tiap kali ada yang meninggal dunia
kami biasa membuka pintu dan jendela
membiarkan udara membawa kata-kata berbunga
di bibir kami yang mekar seketika.
Daun-daun kenangan berjatuhan
berayun-ayun ke dalam ingatan.

Lalu kami mengunjungi rumah duka
sebagai anak dan orang tua
sebagai saudara
sebagai pasangan yang selalu muda
sebagai orang yang pernah hidup bersama
dalam suka-duka
atau sebagai seseorang yang tak pernah ada luka.

Sebagian dari kami membawa cangkul dan sabit pergi menggali kuburan
setiap hentakan
kami mendengar desau kematian,
keringat menetes perlahan
melubangi keperkasaan
yang tak lebih dalam dari sejengkal galian

sebagian yang lain datang menyunggi beras dan pisau dapur
untuk menutup lubang-lubang air mata
dan memotong gelombagnnya.

Setiap malam
sampai tujuh malam
kami menyela di antara wangi keminyan dupa
yang kami bakar di atas sepat kelapa
sampai tubuh kami tiada
tinggal doa-doa yang kian menyala
melebihi purnama.

Setiap hari
sampai tujuh hari
tetamu perempuan berdatangan
lalu pulang dengan se-ceppo nasi putih bersih yang menyimpan rute perjalanan
ke rumah baru
di ujung rumah terdahulu.

Hari kedelapan dan selanjutnya
di rumah masing-masing, kami semua
sibuk menata sisa waktu
sebelum beku dan lebih dingin dari sebongkah batu.

TBY, 12-2012

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons